Tarian Bujang Ganong (Ganongan) atau Patih
Pujangga Anom adalah salah satu tokoh yang enerjik, kocak sekaligus mempunyai
keahlian dalam seni bela diri sehingga disetiap penampilannya senantiasa di
tunggu - tunggu oleh penonton khususnya anak - anak. Bujang Ganong
menggambarkan sosok seorang Patih Muda yang cekatan, berkemauan keras, cerdik,
jenaka dan sakti
Ganongan adalah salah satu bagian penting dari
personil anggota kesenian Reog yang merupakan kesenian asli kebanggaan Indonesia.
Kesenian Reog berasal dari kota
Ponorogo Jawa Timur.
Seluruh tariannya merupakan tarian yang berasal
dari perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, yang dipercaya
mempunyai alur cerita sejarah berawal tentang Raja Ponorogo yang berniat
melamar putri Kediri,
Dewi Ragil Kuning. Namun di tengah perjalanan ia dihadang oleh Raja Singabarong
yang berasal dari Kediri.
Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak
Kerajaan Ponorogo, Raja Kelono dan wakilnya Bujang Anom, dikawal oleh tokoh
warok yang mempunyai ilmu hitam mematikan. Dari situlah kemudian mereka saling
mengadu ilmu hitamnya. Tarian ini sering dipentaskan oleh para penari dalam
keadaan “kerasukan” .
Kesenian tarian ini mempunyai beberapa personal
antara lain Barongan (dadak merak), Warok, Jathil, Klono Sewandono dan Bujang
Ganon (Ganongan).
Bujang Ganong (Ganongan) atau Bujang Ganong menggambarkan
sosok seorang Patih Muda yang cekatan, berkemauan keras, cerdik, jenaka dan
sakti. Bujang Ganong adalah penokohan dari Patih Pujangga Anom, salah satu
tokoh disetiap penampilannya senantiasa di tunggu – tunggu oleh penonton
khususnya anak – anak.
TARI JAIPONG
Tari Jaipong atau dikenal sebagai Jaipongan adalah
tarian yang diciptakan pada tahun 1961 oleh Gugum Gumbira. Pada masa itu,
ketika Presiden Soekarno melarang musik rock and roll dan
musik barat lainnya diperdengarkan di Indonesia, seniman lokal tertantang
untuk mengimbangi aturan pelarangan tersebut dengan menghidupkan kembali seni
tradisi. Tari Jaipong merupakan perpaduan gerakan ketuk tilu, tari topeng
banjet, dan pencak silat (bela diri).
Ketuk tilu sangat
populer di desa, tetapi pada saat itu dianggap buruk di kalangan perkotaan,
karena gerakannya yang sensual, bahkan erotis. Tak jarang penari ketuk tilu
merangkap juga sebagai pelacur. Dalam karyanya, Gugum Gumbira pada saat itu
berusaha melestarikan bentuk dasar ketuk tilu, tetapi dengan tempo musik yang
dipercepat. Sehingga membuat penari menjadi lebih aktif. Ia juga
mempertahankan bentuk tradisioanl ketuk tilu, di mana penari merangkap sebagai
penyanyi, tetepi dipadukan dengan gamelan urban dengan ditambah suara kendang.
Nama jaipong adalah onomatope dari suara kendang yang sering terdengar di
antara tarian ini. Mulut penonton dan pemain musik biasanya meneriakan aksen
tiruan dari suara kendang: ja-i-pong, ja-ki-nem, atau ja-i-nem.
Ada juga yang
mengatakan bahwa nama jaipong mengacu pada bunyi kendang: plak, ping, pong.
Pada awal
kemunculannya, jaipong merupakan tarian modern yang berbeda dari tarian-tarian
tradisional Sunda sebelumnya yang mengedepankan sopan santun dan kehalusan budi
para penarinya. Penari (yang biasanya perempuan) bahkan menundukkan
pandangannya, dan tak boleh menatap pasangannya. Lain dengan jaipong yang pada
saat itu terpengaruh juga oleh budaya dansa Barat di ball room, penari
diharuskan fokus menatap pasangannya sebagai bentuk komunikasi visual.
Tari jaipong mulai
ditampilkan di depan umum pada 1974 dalam Hong Kong Arts Festival, melibatkan
penyanyi-penari Tatih Saleh, Gugum Gumbira sebagai koreografer, dan Nandang
Barmaya, seorang musisi sekaligus dalang. Saat
itu pemerintah sempat berupaya melarang tarian ini karena dirasa cenderung
amoral dan sensual. Tetapi alih-alih meredup, jaipong malah makin populer,
terutama di era 80-an. Bentuk jaipong kala itu tidak lagi disajikan sebagai
tarian pergaulan seperti ronggeng, tayub atau ketuk tilu, di mana posisi
penonton sejajar dengan penari, tetapi sebagai tarian panggung. Jaipong biasa
dilakukan oleh penari perempuan, tetapi bisa juga dilakukan secara berpasangan.
Gerakan
Jaipong
Jaipong memiliki dua
kategori dalam gerakannya:
- Ibing Pola (Tarian Berpola)
Tarian ini biasanya
dilakukan secara rampak (berkelompok) dikoreografi, disajikan dalam panggung
untuk kebutuhan tontonan saja.
- Ibing Saka (Tarian Acak)
Penyajian jenis ini
populer di kawasan Subang dan Karawang, disebut juga sebagai Bajidor. Bajidor
sendiri sering diasosiasikan sebagai akronim Barisan Jelama Boraka (Barisan
Orang-orang Durhaka). Tarian ini lebih merakyat karena, posisi penonton sejajar
dengan penari. Dan penonton bisa ikut menari.
Pola Jaipong
Rangkaian gerak tari
jaipong dapat dibedakan menjadi empat bagian:
- Bukaan, merupakan gerakan pembuka
- Pencugan, merupakan bagian kumpulan gerakan-gerakan
- Ngala, bisa juga disebut titik merupakan pemberhentian dari rangkaian tarian
- Mincit, merupakan perpindahan atau peralihan.
Gerakan dasar tarian
ini sering disebut 3G akronim dari Geol (gerakan pinggul memutar),
Gitek (gerakan pinggul menghentak dan mengayun), Goyang (gerakan
ayunan pinggul tanpa hentakkan). Dewasa ini tari jaipong boleh disebut
sebagai salah satu identitas Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa
acara-acara penting di Jawa Barat. Tamu dari negara asing yang datang ke
Jawa Barat biasa disambut dengan pertunjukan tari jaipong. Demikian pula dengan
misi-misi kesenian ke manca negara.
Tari Jaipong juga
banyak memengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat,
baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong,
dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang
dikolaborasikan dengan Jaipong.
No comments:
Post a Comment